4 Tahun Membersamai RS PKU Aisyiyah Boyolali

Opini

4 Tahun Membersamai RS PKU ‘Aisyiyah Boyolali

(Oleh Thontowi Jauhari)

Empat tahun sudah saya membersamai RS PKU ‘Aisyiyah Boyolali sebagai bagian dari direksi (1/7/2020 – 1/7/2024). Menggantikan posisi bu Sarmini, yang mengundurkan diri.

1Juli 2020 – 31 Desember 2023 sebagai Kabid (Kepala Bidang) Umum, Administrasi dan SDI. 1 Januari 2024 – 31 Desember 2027 sebagai Wakil Direktur Administrasi dan Keuangan.

Kedua posisi itu, sebenarnya sama. Sama-sama di tingkat direksi. Karena ada perubahan struktur organisasi, mengakibatkan perubahan nama posisi.

Menjabat direksi di rumah sakit itu, sama sekali di luar dugaan.
Diluar impian, cita-cita, harapan, hasrat dan passion saya. Dunia ku itu tidak disitu. Saya sama sekali tidak punya bekal ilmu dan pengalaman. Juga tidak berlatar belakang tenaga medis atau kesehatan.

Alkisah, sekitar bulan Juni 2020, saya pamitan dengan Bu Neni (demikian kita biasa memanggil Bu Nuraini Budi Astuti) untuk mengikuti tes akhir wawancara untuk menjadi Hakim Ad hoc Tipikor (Tindak Pidana Korupsi) di Mega Mendung, Bogor.

Iya, saya pamitan karena posisi saya saat itu sebagai Koordinator SSR TB ‘Aisyiyah Boyolali. Bu Neni itu boss saya, sebagai kepala. Maka saya harus izin tidak masuk sekitar lima hari.

” Saya doakan tidak lulus”, jawab Bu Neni.

“Horok, dipamiti baik-baik kok malah mendoakan tidak lulus” tukasku seketika.

Mau diajak ngurusi PKU kok malah pergi”, sahut Bu Neni.

Mau ngurusi apa ? Bukankah RS PKU sudah ada yang ngurusi ? Bukankah saya sudah menjadi kepala SPI ?

Dan benar, doa Bu Neni dikabulkan. Saya tidak lulus menjadi Hakim Ad Hoc Tipikor. Saya diwawancarai langsung oleh Artidjo Al Kautsar. Hakim Agung yang dikenal killer itu.

Tampaknya, Bu Neni ini sudah memendam keinginan terhadap saya, tapi tidak pernah ngomong. Hanya dibatin. Bahasa tubuhnya pun tidak menunjukkan bu Neni akan mempromosikan saya menjadi Kabid. Diajak diskusi tentang PKU dan Curhat pun juga tidak.

Penempatan secara paksa terhadap saya di jajaran direksi itu, dan seluruh yang melatari, banyak drama. Kalau ditulis, akan jadi satu buku, dan tidak mungkin saya goreskan di essay singkat ini. Disamping space yang terbatas, banyak pro kontra atau kontroversi. Kalau saya tulis lengkap justru akan menimbulkan kontroversi baru.

Singkat cerita, pada awal saya menjabat itu, saya langsung curhat dengan bu Neni.

“Rumah sakit kok seperti RSS (Rumah Sangat Sederhana). Bangsal VIP, bahkan VVIP, kondisi kamarnya kumuh. Toilet nya, tidak berbeda jauh dengan toilet umum pasar Boyolali. Apalagi bangsal non VIP-VVIP, kondisinya lebih memprihatinkan”.

Kalau sakit dan perlu opname, saya yang orang muhammadiyah sejak dalam kandungan, tidak mau dirawat di RS PKU Aisyiyah Boyolali.

Bagaimana mungkin, kalau orang dalam saja tidak merasa krasan di RS PKU, kita bisa meyakinkan orang lain untuk krasan atau nyaman dirawat disini ?

Maka, cepat atau lambat, kalau rumah sakit ini tidak berbenah, akan ditinggalkan masyarakat. Ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan terus berkembang, harapan masyarakat terhadap layanan rumah sakit juga berkembang mengikuti tingkat kesejahteraannya.

Rumah sakit juga harus berkembang mengikuti perkembangan di luar itu. Yang paling gampang adalah rumah sakit harus membenahi bangunan. Ada tanah kosong, agar segera didirikan bangunan megah sebagai icon baru.

Rumah sakit harus menyusun master plan baru. Istilah saya ketika itu, kita buat re-master plan.

Pikiran saya saat itu, Bu Neni bisa marah oleh ocehanku itu. Alhamdulillah, ternyata tidak. Sebaliknya provokasi saya itu berhasil. Bu Neni langsung menunjukkan desain gambar lama, yang sangat megah, namun tidak ada tindak lanjut. Berhenti di manajemen lama.

“Ayo pak, kita membangun. Mengikuti kemajuan rumah sakit PKU lainnya”, keluh bu Neni.

Tugasku berikutnya adalah meyakinkan direktur (dr Umi Haniek). Perlu “ancang-ancang” meyakinkan direktur.

Satu bulan penuh pada awal bekerja, saya sikat habis regulasi yang berhubungan dengan rumah sakit. Tiap hari, kerjaku membaca di depan komputer berbagai produk hukum, artikel-artikel, dan nonton channel youtube tentang rumah sakit.

Maka, satu bulan pertama itu pula saya dah berani ngomong, jika rumah sakit ini diaudit secara hukum, 80 persen tidak memenuhi syarat. Rumah sakit harus segera berbenah untuk memenuhi kualifikasi hukum, agar tetap survive.

Saya juga menemui dr Evi untuk minta saran. Bu dr Evi adalah pejabat di Dinas Kesehatan yang berwenang melakukan pengawasan dan supervisi rumah sakit di Boyolali.

Alhamdulillah, dr Evi sangat blak blak-an. Bicaranya lugas. Wis serba jelek lah rumah sakit ini. Sampai dia mengatakan : “Kalau dinkes tetap memberikan izin ke PKU itu tidak berarti kami berpihak ke rumah sakit. Tapi kami ingin melindungi masyarakat dari aspek kesehatan”.

“Rumah sakit PKU Aisyiyah Boyolali itu pasiennya banyak. Termasuk rumah sakit yang disukai masyarakat, tapi kondisinya memprihatinkan”, imbuh dr Evi di akhir pembicaraan.

Meyakinkan direktur, tentu bukan pekerjaan mudah. Apalagi saya tergolong unwanted person. Ada psychological barrier, meski sudah mengajak bu Neni untuk meyakinkan direktur.

Rapat hanya ber-empat : direktur, bu Neni sebagai representasi pemilik, saya dan pak Sarengat. Tidak bisa mengambil keputusan, karena posisi pak Sarengat berpihak direktur.

Dalam keseruan berargumentasi itu, pak Sarengat mengusulkan “relokasi rumah sakit”. “Pak Sarengat bisa mengusahakan dana Rp 100 miliar untuk relokasi itu. Usul itu mestinya juga punya konsep”, sanggahku.

Diskusi itu sampai dibawa ke ruang Kabid. “Saya itu tidak berpihak bu dir dan juga Bu Neni”, kata pak Sarengat.

Saya juga tidak berpihak siapa-siapa, juga tidak ke bu Neni. Saya hanya berpihak masa depan rumah sakit.

Ini lah kesempatan bagi saya untuk “berceramah” banyak hal tentang tantangan rumah sakit ke depan. Bagaimana rumah sakit bisa bertahan, sejak dari harus mempunyai daya saing, melakukan diversifikasi layanan dan harus mengikuti berbagai perkembangan di luar. Itu semua tidak bisa dilakukan tanpa membangun.

Alhamdulillah pak Sarengat teryakinkan. Saya sudah punya modal besar untuk meyakinkan direktur melalui pak Sarengat. Dan benar direktur akhirnya “takluk” menyetujui pembangunan.

Bahasa direktur dr Umi Haniek, ketika ada yang bertanya, kok menyetujui membangun seperti itu. Jawaban direktur lugas. “La piye, satu banding tiga”.

Kembali ke topik essay ini, empat tahun saya mengabdi. Ibarat kuliah di perguruan tinggi, empat tahun adalah lama studi S1. Alhamdulillah lulus, tinggal nunggu “wisuda”. Enggak tahu kapan ada “wisuda”.

Dosen ku adalah para karyawan atau seluruh civitas hospitalia, yang suka atau tidak suka. Yang underestimate atau yang percaya. Yang setuju dengan ide-ide saya atau yang kontra.

Semua itu kami sikapi positif. Ini hanya persoalan waktu bagi saya untuk membuktikan, bahwa saya bisa.

Bisa itu tidak berarti cerdas. Bisa itu bisa jadi karena tekun. Iya, modal ku hanya tekun ingin tahu. Tidak malu bertanya. Banyak kisah kesuksesan hanya karena tekun, seperti hasil penelitian yang ditulis oleh Greg S. Reid dalam bukunya: Stick-ability

Terimakasih saya ucapkan ke dr. Anang Ma’ruf, Sp, B Finacs, FICS. Kini, di kepemimpinan direktur Zahrosofi Ahmadah, dr Anang didapuk menjadi Kepala Satuan Pengawas Intern (SPI) RS PKU Aisyiyah Boyolali.

Pak dr Anang ini menjadi teman diskusi yang asik. Saat ide pembangunan gedung baru disosialisasikan ke DPJP (Dokter Penanggung Jawab Pelayanan), pak dr Anang mampu mencuri perhatianku. Ide-idenya, cemerlang.

Karena itu, saya sering diskusi dengan beliau. Bahkan pernah saya undang dalam FGD mengembangkan rumah sakit.

Yang menarik, komentar dr Evi saat visitasi penaikan kelas C. “Komentar saya melihat perkembangan rumah sakit PKU, wow”.

Alhamdulillah kini rumah sakit PKU ‘Aisyiyah Boyolali kian berkembang. Dengan direktur baru, dr Zahrosofi Ahmadah, yang baru menjabat 6 bulan, telah nampak progresnya.

Investasi tanah dan perencanaan pengembangan gedung A sudah on going. Penambahan layanan Urologi, tinggal menunggu waktu. Sampai-sampai, dr Fajar Sudarsono, Sp.U (K), dokter urologi senior dan konsultan, bersedia mundur praktek di RS JIH Solo, karena ingin praktek di RS PKU ‘Aisyiyah Boyolali.

In syaa Allah, rumah sakit ini akan terus berkembang, sesuai dengan visinya : Menjadi Pilihan Utama Masyarakat.
Aamiin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *